Biar Hasilnya Maksimal, Pengobatan Kanker Harus Terstandar
A
A
A
JAKARTA - Penanganan kanker memerlukan pengetahuan yang benar serta tata laksana yang terstandar agar pengobatan mencapai hasil yang diinginkan. Data WHO menyebutkan, kanker merupakan salah satu penyakit penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak di dunia.
Secara nasional, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,79% per 1.000 penduduk. Hal ini berarti naik dari tahun 2013 sebesar 1,4% per 1.000 penduduk. Di samping insiden kanker yang terus meningkat di seluruh dunia, sampai saat ini masih banyak didapati mitos yang menyesatkan tentang kanker dan pengobatannya.
Pasien kanker masih banyak yang terbuai dengan janji-janji akan pengobatan herbal yang diklaim dapat menyembuhkan kanker. Nyatanya tidak sedikit pasien kanker yang justru kondisinya malah memburuk setelah pengobatan herbal dan akhirnya kembali lagi pada pengobatan medis.Bicara soal kanker, Dr dr Ikhwan Rinaldi SpPD-KHOM, ahli hematologi onkologi medik RSCM, menjelaskan perbedaan kanker dan tumor. Menurut dia, tumor ada yang sifatnya jinak dan ada yang sifatnya ganas. “Perbedaannya terdapat pada kemampuan tumor untuk melakukan penyebaran. Kalau kanker terjadi karena proses yang panjang yang menyebabkan perubahan genetik dalam sel,” sebutnya dalam acara Bincang Kanker dengan Pakar, Kamis (30/1/2020), di Jakarta.
Perubahan genetik sel terjadi karena beberapa hal dan multi penyebab. Nah, untuk mengetahui apakah tumor yang dimiliki seseorang sudah pada tahap kanker atau tidak, perlu dilakukan tata laksana, yaitu biopsi. Namun, biopsi jika tanpa segera dilanjutkan dengan pengobatan yang adekuat dalam waktu yang tidak terlalu lama juga menyebabkan kanker berkembang dan perburukan kondisi.
Oleh karena itu, memutuskan untuk dilakukan biopsi sebaiknya sekaligus dengan memutuskan untuk mengikuti segera pengobatan yang adekuat sesuai standar. Perlu diketahui, kanker yang sudah bermetastasis (menyebar) keorgan lain akan menurunkan kesintasan atau survivalnya.
Dr Ikhwan menyebutkan, sebagian kanker memiliki peluang kesembuhan yang tinggi, misalnya kanker kelenjar getah bening (limfoma) terutama limfoma hodgkin, kanker padat pada anak, kanker testis, dan sebagian kecil kanker paru jenis sel kecil.
Berdasarkan pengalaman dr Ikhwan, ada saja pasien yang tidak mau menjalani operasi, atau hanya mau dikemoterapi. Padahal, standarnya lebih baik dioperasi dulu, baru dikemoterapi. “Misalnya pasien kanker payudara yang belum bermetastasis, tetapi belum bisa dioperasi karena ukuran benjolan yang besar, maka dilakukan kemoterapi lebih dulu dan bila sudah mengecil dilakukan operasi, kemudian kemoterapi lagi,” kata dr Ikhwan.
Namun, pasien yang dimaksud tidak mau menjalani operasi setelah benjolan mengecil, melainkan hanya minta dikemoterapi. “Benjolan payudara hilang tapi dalam waktu singkat terjadi kekambuhan. Kanker muncul lagi di organ lain dan di payudara yang dulu ada benjolan,” katanya.
Ada juga pasien yang sudah dibiopsi di lubang pembuangan dan diketahui kanker, tetapi tidak mau menjalani operasi karena harus dibuat kantong pembuangan di daerah perut. Pasien memilih menjalani pengobatan dengan herbal. Dalam tiga bulan terjadi progresivitas penyakit, yakni adanya pertumbuhan kanker di hati dan akhirnya pasien harus menjalani operasi pembuatan kantong pembuangan karena terjadi penyumbatan saluran pembuangan dan kanker tak bisa dioperasi lagi.
Sementara itu dikatakan Prof Dr dr Aru Sudoyo Sp PDKHOM FACP, dalam pengobatan bagi pasien kanker dibutuhkan dukungan penuh dari keluarga. Ia melanjutkan, teknologi canggih sekalipun tidak akan banyak membantu kalau pasien bersangkutan tidak dapat diajak bekerja sama untuk memerangi penyakitnya.
Secara nasional, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,79% per 1.000 penduduk. Hal ini berarti naik dari tahun 2013 sebesar 1,4% per 1.000 penduduk. Di samping insiden kanker yang terus meningkat di seluruh dunia, sampai saat ini masih banyak didapati mitos yang menyesatkan tentang kanker dan pengobatannya.
Pasien kanker masih banyak yang terbuai dengan janji-janji akan pengobatan herbal yang diklaim dapat menyembuhkan kanker. Nyatanya tidak sedikit pasien kanker yang justru kondisinya malah memburuk setelah pengobatan herbal dan akhirnya kembali lagi pada pengobatan medis.Bicara soal kanker, Dr dr Ikhwan Rinaldi SpPD-KHOM, ahli hematologi onkologi medik RSCM, menjelaskan perbedaan kanker dan tumor. Menurut dia, tumor ada yang sifatnya jinak dan ada yang sifatnya ganas. “Perbedaannya terdapat pada kemampuan tumor untuk melakukan penyebaran. Kalau kanker terjadi karena proses yang panjang yang menyebabkan perubahan genetik dalam sel,” sebutnya dalam acara Bincang Kanker dengan Pakar, Kamis (30/1/2020), di Jakarta.
Perubahan genetik sel terjadi karena beberapa hal dan multi penyebab. Nah, untuk mengetahui apakah tumor yang dimiliki seseorang sudah pada tahap kanker atau tidak, perlu dilakukan tata laksana, yaitu biopsi. Namun, biopsi jika tanpa segera dilanjutkan dengan pengobatan yang adekuat dalam waktu yang tidak terlalu lama juga menyebabkan kanker berkembang dan perburukan kondisi.
Oleh karena itu, memutuskan untuk dilakukan biopsi sebaiknya sekaligus dengan memutuskan untuk mengikuti segera pengobatan yang adekuat sesuai standar. Perlu diketahui, kanker yang sudah bermetastasis (menyebar) keorgan lain akan menurunkan kesintasan atau survivalnya.
Dr Ikhwan menyebutkan, sebagian kanker memiliki peluang kesembuhan yang tinggi, misalnya kanker kelenjar getah bening (limfoma) terutama limfoma hodgkin, kanker padat pada anak, kanker testis, dan sebagian kecil kanker paru jenis sel kecil.
Berdasarkan pengalaman dr Ikhwan, ada saja pasien yang tidak mau menjalani operasi, atau hanya mau dikemoterapi. Padahal, standarnya lebih baik dioperasi dulu, baru dikemoterapi. “Misalnya pasien kanker payudara yang belum bermetastasis, tetapi belum bisa dioperasi karena ukuran benjolan yang besar, maka dilakukan kemoterapi lebih dulu dan bila sudah mengecil dilakukan operasi, kemudian kemoterapi lagi,” kata dr Ikhwan.
Namun, pasien yang dimaksud tidak mau menjalani operasi setelah benjolan mengecil, melainkan hanya minta dikemoterapi. “Benjolan payudara hilang tapi dalam waktu singkat terjadi kekambuhan. Kanker muncul lagi di organ lain dan di payudara yang dulu ada benjolan,” katanya.
Ada juga pasien yang sudah dibiopsi di lubang pembuangan dan diketahui kanker, tetapi tidak mau menjalani operasi karena harus dibuat kantong pembuangan di daerah perut. Pasien memilih menjalani pengobatan dengan herbal. Dalam tiga bulan terjadi progresivitas penyakit, yakni adanya pertumbuhan kanker di hati dan akhirnya pasien harus menjalani operasi pembuatan kantong pembuangan karena terjadi penyumbatan saluran pembuangan dan kanker tak bisa dioperasi lagi.
Sementara itu dikatakan Prof Dr dr Aru Sudoyo Sp PDKHOM FACP, dalam pengobatan bagi pasien kanker dibutuhkan dukungan penuh dari keluarga. Ia melanjutkan, teknologi canggih sekalipun tidak akan banyak membantu kalau pasien bersangkutan tidak dapat diajak bekerja sama untuk memerangi penyakitnya.
(ysw)